KEBERADAAN KERAJAAN LUWU DI NUSANTARA
SUATU MISSING LINK DARI SEJARAH NASIONAL
Melacak mula berawal dan hadirnya Kerajaan Luwu selaku kerajaan yang tertua dan terbesar di Sulawesi hingga saat ini belum diketahui secara pasti. Namun para peneliti sejarah mengetahui pasti adanya kerajaan tersebut, berikut peran pentingnya di belahan bumi Indonesia. Salah satu informasi tertua dan tertulis yang dapat dijadikan rujukan dala melacak jiprah Kerajaan Luwu di Nusantara adalah buku I La Galigo atau sure’selleang. La Galigo adalah putra Sawerigading hasil perkawinan dengan seorang putri Cina bernama “We Cudai”. La Galigo tidak diberi kekuasaan oleh “Dewata” untuk memerintah, tapi dianugerahi satu kepandaian yang luar biasa, yaitu kepandaian menciptakan suatu rangkaian besar puisi yang telah diberi nama “I La Galigo” yang merupakan hasil seni sastra dunia terbesar hingga kini (H.D.Mangemba,1994). Cuma saja Galigo tidak dapat dijadikan sumber catatan sejarah, disebabkan tidak menginformasikan secara pasti dan tepat tentang tahun berapa kejadian yang diungkapkannya itu terjadi. Prof. Dr. H.A. Mattulada (1994) menilai I La Galigo sebagai kesusteraan “suci” yang secara esensial adalah mitos yang dapat dianalisis hanya dengan cara (metode mitologis yang khas).
Sebagai mitos, ia bebas dari keterikatan pada waktu. Tak dapat ditetapkan kapan mula-mula dan bila berakhirnya. Acapkali, ia juga bebas dari ruang dan (tempat), artinya tempat itu boleh saja ada dimana-mana, tetapi tidak terikat pada kenyataan empirik pada suatu tempat tertentu, secara empirik. Ia (mitos itu) mengandung kekayaan simbol dan kemungkinan interpretasi yang sesuai dengan pemikiran MITIS.
Sementara itu, Prof. Dr. R.A Kern (1939), sebagaimana yang dikutip H.A. Zainal Abidin 1994) yang telah membaca lebih dari 20.000 halaman buku Galigo di berbagai perpustakaan di Eropa, mengungkapkan pada bagian pembukaanlah yang mengandung mythe.
Selanjutnya, ungkap Prof. Dr. R.A Kern jika disortir pada bagian yang sama dan sejajar, maka I La Galigo merupakan bukti sejarah terbesar di dunia, terdiri atas k.l 7000 halaman, jauh lebih tebal dari Homerus di Yunani dan Mahabrata di India. Ini dapat diindikasikan bahwa orang Luwu dahulu kala telah memiliki budaya baca tulis yang begitu tinggi dan mengagumkan. Sayang sekali hal itu tidak terwariskan-tak nampak hingga sekarang. Dalam buku Galigo dikisahkan tentang Tokoh “legendaris” Sawerigading yang hingga saat ini menjadi culture hero bagi masyarakat Luwu. Selanjutnya R.A Kern mengatakan; barang siapa yang telah membaca kisah sawerigading di dalam buku Galigo, maka sulit untuk menyangkali adanya latar belakang sejarah yang meliputi tokoh itu. Walaupun kisahnya telah dibungkus oleh mythe dan sakral sedemikian rupa. Sehingga hampir-hampir ia tidak dikenal lagi. Sejarah Sawerigading sapai batas tertentu merupakan Sejarah Orang Bugis. Di dalam dirinya tergambar kisah pengembaraan orang Bugis kemana-mana sebelum menetap di negeri yang mereka diami. Buku sastra Galigo jelas menggambarkan era ketika rumpun Melayu Muda yang disebut to Luwu itu masih mendiami seluruh pantai Timur Sulawesi Selatan, yang pusat kerajaannya di Ussuk, Malili/Luwuk Banggai yang kaya akan besi dan emas. Besi dan emas pula yang merupakan barang ekspor ke kerajaan-kerajaan lain (H.A. Zainal Abidin,1994).
Tentang Luwu yang banyak menghasilkan banyak besi, diberitakan lewat lontarak bahwa salah seorang Batara Guru memiliki keahlian khusus mengelola besi sebagai salah satu komoditi ekspor saat itu. Penguasaan besi, merupakan lambang supremasi kedidayaan suatu negeri seperti yang nampak sekarang. Penelitian DR. Anthony Red menyatakan bahwa besi di Majapahit berasal dari besi Luwu. Hal ini mengindikasikan bahwa antara Kerajaan Luwu dan Majapahit pernah menjalin hubungan bilateral.
Masa terjadinya hubungan bilateal antara Luwu dan Majapahit dapat dilacak pada peristiwa perkawinan Anakaji putra Simpurusiang dengan putri Raja Majapahit Wikrawardhana dari istrinya seorang cina dari Campa, Kamboja. Namanya ialah Tampabalusu, tetapi orang Luwu menamakannya We Tappa Cina (berparas Cina) karena memang orang Cina ibunya. Istri Anakaji ini bersaudara dengan Swan Leong yang bersaudara tiri dengan Ratu Suhita yang mewarisi tahta Kerajaan Majapahit setelah Wikrawardhana mangkat (H.D. Mangemba 1994).
Dibalik perkawinan antar kerajaan tersebut terindikasikan bahwa Kerajaan Luwu tak pernah takluk oleh Majapahit pada zaman kejayaannya, sehubungan dengan adanya sumpah mahapati Gajahmada, ketika ia berhasil menumpas pemberontakan Kuti, dihadapan para menteri kerajaan tahun 1331 bahwa “ia tidak akan bersuka-suka dengan Palapa lagi sehingga Nusantara dapat dikuasai”. Terkesan Majapahit memandang Kerajaan Luwu setara dengan Kerajaan Majapahit. Hal ini dapat dilacak dari tidak terjadinya peperangan pada masa ekepedisi perluasan pengaruh Majapahit yang melewati jalur ke arah timur sekitar tahun 1334 dengan memasuki wilayah Sulawesi Selatan-Bantaeng hingga ke Luwu.
Hal ini sangatlah mungkin. Sebab, di Sulawesi sendiri, Kerajaan Luwu telah lama disegani dan diakui kekuatan bala tentaranya yang terkenal gagah perkasa. Dari tiga kerajaan besar di Sulawesi yang dikenal dengan “Tellumpocoe” (tiga negeri besar) maka Luwulah yang dianggap kakak tertua.
Bahkan, Kerajaan Luwu dipandang sebagai Supra State (A.A.Pangerang,1994). Dengan demikian, maka wajar saja jikalau Majapahit berpikir berapa kali lipat untuk mendayakan upaya penaklukan terhadap salah satu kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Olehnya itu, yang terjadi, adalah hubungan bilateral melalui perkwinan politik, guna mendapatkan bahan baku persenjataan dari besi yang berasal dari Kerajaan Luwu.
LUWU MISSING LINK DARI SEJARAH NASIONAL
Satu hal yang amat disayangkan, Luwu dalam peta Sejarah Nasional kurang dikenal. Hal ini ,tentu saja dapat merugikan dari segi studi integrasi budaya bangsa. Dan bila dibiarkan maka pengetahuan sejarah dan kebudayaan Nasional tidak akan bertambah. Olehnya itu, sangat arif dan bijaksana jikalau segera dipikirkan Escapasi tentang The Rising of The Luwu, guna menelusuri kebesaran Luwu di masa lalu dalam lintasan Nusantara pada perspektif sejarah masa depan bangsa (seperti yang diungkapkan A.A. Pangerang pada suatu acara Tudang Ade, hari jadi Luwu pada Medio Agustus 1994 di Palopo).
Betapa tidak, dari berbagai berita yang terdapat pada kerajaan-kerajaan besar yang ada di Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit, terdapat perihal tentang keterkaitan dengan hal ihwal keberadaan Kerajaan Luwu. Sebagai misal, bahwa “konon kabarnya” Kerajaan Sriwijaya didirikan oleh para turunan raja dari Timur. Begitu pula halnya dengan relief kapal “Pinisi” yang terdapat di Candi Borobudur yang arah pelayarannya berasal dari timur. Hal tersebut, sangat mungkin sekali bila dihubungkan dengan beberapa sumber yang mengisahkan tentang pelayaran dan pengembaraan yang terjadi di masa Raja Luwu dahulu kala. Misalnya, seperti yang diungkapkan oleh Dr. Abdul Rahman Al Ahmadi pegawai tinggi kementrian kebudayaan Malaysia dalam Makalahnya pada kesempatan seminar Sawerigading di Universitas Taduklako menyatakan bahwa dalam riwayat Kelantan-Malaysia dinyatakan bahwa pada tahun 767 Masehi, Raja Kelantan Sri Vijayendraraja atas permintaan orang-orang Yuwan yang dijajah oleh Tiongkok menyerang Kuala Sungai Merah (Song Ka) di wilayah Tongkin. Pasukan Kelantan diperkuat oleh pasukan Luwu’ di bawah pimpinan Suwira Gading (sawerigading) menyerang benteng Giao Chi dan berhasil mendudukinya.
Selaras dengan itu, Dr. Cyril A. Hromnik (seperti yang dikutip H.A. Zainal Abidin) yang lama meneliti di Afrika Selatan dan Malagasi (Madagasakar) melaporkan bahwa dari abad I sampai X, banyak sekali serfs (abdi) yang dikirim dari kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yaitu Kerajaan Bugis, ke Afrika Selatan untuk dipekerjakan di pertambangan orang-orang India.
Dengan demikian sangat mungkin sekali jika yang dimaksud dengan pendiri Kerajaan Sriwijaya itu berasal dari timur itu adalah tak lain dari keturunan raja-raja Luwu: demikian juga halnya dengan relief yang terdapat di Candi Borobudur adalah juga tak mustahil merupakan rekaman perjalanan-pelayaran Raja Luwu. Tentang keabsahan kebenarannya sudah tentu memerlukan penelitian yang mendalam dan komprehensif, tetapi yang pasti, untuk sementara, Kerajaan Luwu hingga saat ini mengalami keterputusan sejarah dari rentang sejarah Nusantara yang panjang.
Wallahua’lambissawab.
Oleh:Aswar Hasan (Staf Pengajar Fisipol Unhas)(Harian Fajar :Jum’at 19 Agustus 1994.)